Sebuah surat yang ditulis oleh lima guru besar dari empat perguruan tinggi akan dikirim ke Presiden Jokowi.
Beberapa profesor itu memohon supaya Presien Joko Widodo tidak memudahkan syarat pemberian remisi untuk koruptor. Remisi itu diatur dalam Ketentuan Pemerintah Nomer 99 Tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pemerintah dimaksud akan membuat revisi PP yang diteken di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu. Kelima guru besar itu yaitu, Guru besar Universitas Islam Indonesia Mahfud MD, Guru besar Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, Guru besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali, guru besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, dan Guru besar Universitas Bosowa ’45 Marwan Mas Salah seseorang guru besar yang menandatangani surat, Mahfud MD menyampaikan, pernyataan sikap yang tertuang dalam surat itu difasilitasi Indonesia Corruption Watch (ICW). Rencananya, lanjut dia, surat itu diantar ke Jokowi pada Senin (5/9/2016).
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIe6Qo68b-JyfotKX5IfNAV7m4M1yrcfr8_teozLrNGiz4s_9TIDqB3Jv2NwW6LSc3RdSdrS_L0tsyz9Uv-SEc7bnBR8lVtMpK9E2VJMHlygkLcxm0sNrg4lE4Zd2_ZP29ZKwufxlke6-f/s640/04-00-7.jpg)
” Jadi, itu dikoordinir oleh ICW, mengakomodasi siapa yang menyepakati konteks itu. Saya termasuk juga yang tidak sepakat bila PP 99 itu direvisi, ” tutur Mahfud saat dihubungi, Minggu (4/9/2016). Menurut Mahfud, koruptor tidak semestnya diberikan keringanan remisi. Sebab, korupsi yaitu kejahatan luar biasa. ” Sudah disetujui kan dengan cara internasional kalau korupsi itu kejahatan besar kejahatan luar biasa. Jadi hukumannya juga mesti lain, berarti bila membedakan hukuman, membedakan cara memberi remisi itu telah sesuai keluar dengan kebiasaannya itu, sudah adil, sesuai kitab extraordinary crime, ” kata dia. Di bawah ini yaitu isi lengkap dari surat itu : Pada Yth. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Jakarta Hal : Keinginan untuk menolak pengesahan regulasi yang memudahkan pemberian remisi untuk Koruptor Dengan Hormat, Salam Merdeka, Bapak Presiden Joko Widodo yang terhormat. Mudah-mudahan Bapak dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan selalu berkomitmen memberantas korupsi. Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia sekarang ini tengah membahas Rancangan Ketentuan Pemerintah mengenai Syarat dan Tata Cara Proses Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (RPP Warga Binaan). Kementrian beralasan RPP dibuat dilakukan untuk mengurangi kisruh dan kelebihan kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Lewat surat ini kami ingin mengemukakan kalau RPP ini butuh dikritisi dalam tiga segi yaitu prosedur, subtansi dan alasan
pemerintah dalam melakukan pengaturan rancangan regulasi itu. Pertama, dengan cara prosedur, sistem pengaturan RPP Warga Binaan ini tidak transparan dan tidak partisipatif dan tidak disertai dengan naskah akademik atau kajian yang menjelaskan alasan atau latar belakang pentingnya RPP ini. Kedua, dengan cara subtansi, RPP usulan pemerintah itu jelas menguntungkan koruptor karena berusaha memberi banyak celah dan kesempatan supaya koruptor semakin banyak dan lebih cepat keluar penjara. Syarat paling utama sebagai justice collaborator dan ada rekomendasi lembaga yang menangani perkara korupsi dari sang koruptor – seperti KPK – dihilangkan dalam usulan RPP. Satu tahun napi korupsi begitu mungkin saja memperoleh 3 sampai 4 kali remisi yaitu umum, khusus, tambahan dan kemanusiaan. Ketiga, alasan RPP untuk mengurangi keunggulan kemampuan penghuni penjara tidak efektif ditujukan pada napi korupsi. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatn per Juli 2016 mengatakan jumlah narapidana yang menghuni rutan dan penjara sejumlah 197. 670 orang dan sebanyak 3. 801 (1, 92 persen) salah satunya yaitu narapidana korupsi. Baiknya Presiden Jokowi butuh secepatnya memanggil Yasona sebagai Menteri Hukum dan HAM untuk dimintai klarifikasi dan memerhatikan penolakan dari KPK ataupun pihak perguruan tinggi berkaitan dengan subtansi yang dinilai menguntungkan koruptor. Hal ini penting karena RPP akan menjadi pertaruhan komitmen pemberantasan korupsi Pemerintah Jokowi-JK. Tidak ada campur tangan Presiden, dikhawatirkan ada penumpang gelap dan nuansa politis dibalik gagasan mencabut pengetatan syarat pemenuhan hak untuk koruptor sebagaimana tertuang dalam RPP ini.
Pemerintah lebih baik fokus memperkuat instrumen hukum pemberantasan korupsi. Sampai saat ini setidaknya terdapat banyak regulasi yang mendesak untuk segera dibicarakan, seperti RUU mengenai Perampasan Aset, RUU mengenai Pembatasan Transaksi Tunai, dan RUU mengenai Revisi atas UU Tindak Pidana Korupsi. Hormat Kami, Guru Besar Antikorupsi 1. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD (Universitas Islam Indonesia) 2. Prof. Dr. Hibnu Nugroho (Universitas Jenderal Soedirman) 3. Prof. Rhenald Kasali, Ph. D. (Universitas Indonesia) 4. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia) 5. Prof. Dr. Marwan Mas, M. H. (Universitas Bosowa ’45 Makassar) Tembusan 1. Ketua MPR RI 2. Ketua DPR RI 3. Menteri Hukum dan HAM 4. Ketua KPK RI
0 comments